Kamis, 18 Desember 2014

Hukum Jaminan | Jaminan Hak Tanggungan

Fakultas Hukum Universitas Nasional


HAK TANGGUNGAN
oleh: Mohammad Azhari
 

Pengertian Hak Tanggungan


            Beberapa pengertian Hak Tanggungan ditemui dalam undang-undang dan pendapat para ahli, antara lain:
1. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan/UUHT bahwa Hak Tanggungan adalah hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang selanjunya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah yang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah-tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya”.[1]
2. Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) sebagai induk peraturan perundang-undang tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan tanah, tidak mengatur secara tegas tentang Hak Tanggungan. Berdasarkan ketentuan Pasal 51 UUPA dinyatakan bahwa: “Hak Tanggungan yang dapat dibebankan pada Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan sebagaimana diatur dalam Pasal 25, 33 dan 39 diatur dengan undang-undang”.[2]
3. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa, tanggungan diartikan sebagai barang yang dijadikan jaminan. Sedangkan jaminan itu sendiri artinya tanggungan atas pinjaman yang diterima (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989:899).[3]
4. Menurut Prof. Budi Harsono mengartikan hak tanggungan adalah "Penguasaan hak atas tanah, berisi kewenangan bagi kredi¬tur untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dijadikan agunan.Tetapi bukan untuk dikuasai secara fisik dan di-gunakan, melainkan untuk menjualnya jika debitur cedera janji dan mengambil dari hasilnya seluruhnya atau sebagian sebagai pembayaran lunas hutang debitur kepadanya".[4]
   
 
Dasar Hukum Hak Tanggungan


            Dasar hukum mengenai Hak Tanggungan dapat kita temukan didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN. Antara lain:
1.      KUHPerdata Pasal 1338-1341.[5]
2.      Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan.[6]
3.      Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah pasal 15 ayat (1) dan (2), pasal 33 ayat (1) dan (2), dan pasal 53 ayat (1) dan (2).[7]
4.      Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 2010 Tentang Jenis Dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Badan Pertanahan Nasional.[8]
5.      Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 1996 Tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan untuk Menjamin Pelunasan Kredit-Kredit Tertentu.[9]
6.      Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI No. 1 Tahun 2011 Tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah Tertentu.[10]
  
Ciri-ciri dan Sifat Hak Tanggungan

            Dalam Penjelasan Umum Undang-undang Hak Tanggungan No. 4 Tahun 1996 dikemukakan bahwa sebagai lembaga hak jaminan atas tanah yang kuat, Hak Tanggungan harus mengandung ciri-ciri[11]:

a. Droit de preferent, artinya memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada pemegangnya (Pasal 1 angka 1 dan Pasal 20 ayat 1). Dalam hal ini pemegang Hak Tanggungan sebagai kreditur memperoleh hak didahulukan dari kreditur lainnya untuk memperoleh pembayaran piutangnya dari hasil penjualan (pencairan) objek jaminan kredit yang diikat dengan Hak Tanggungan tersebut. Kedudukan kreditur yang mempunyai hak didahulukan dari kreditur lain (kreditur preferen) akan sangat menguntungkan kepada pihak yang bersangkutan dalam memperoleh pembayaran kembali (pelunasan) pinjaman uang yang diberikannya kepada debitur yang ingkar janji (wanprestasi).

b. Droit de suite, artinya selalu mengikuti jaminan hutang dalam tangan siapapun objek tersebut berada (Pasal 7). Dalam Pasal 7 UUHT disebutkan bahwa Hak tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek itu berada. Sifat ini merupakan salah satu jaminan khusus bagi kepentingan pemegang Hak Tanggungan. Meskipun objek dari Hak Tanggungan sudah berpindah tangan dan menjadi milik pihak lain, kreditur masih tetap dapat menggunakan haknya melalui eksekusi, jika debitur cidera janji.

c. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Berdasarkan hal tersebut maka sahnya pembebanan Hak Tanggungan disyaratkan wajib disebutkan dengan jelas piutang mana dan berapa jumlahnya yang dijamin serta benda-benda mana yang dijadikan jaminan (syarat spesialitas), dan wajib didaftarkan di Kantor Pertanahan sehingga terbuka untuk umum (syarat publisitas).

d. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya Salah satu ciri Hak Tanggungan yang kuat adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya jika debitur cidera janji. Meskipun secara umum ketentuan mengenai eksekusi telah diatur dalam hukum acara perdata yang berlaku, dipandang perlu untuk memasukkan secara khusus mengenai eksekusi Hak Tanggungan dalam Undang-undang ini, yaitu yang mengatur mengenai lembaga parate executie sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 HIR dan Pasal 258 Reglemen Hukum Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura. M. Bahsan , Op.Cit, hal.23-25.

            Hak Tanggungan memiliki sifat tidak dapat dibagi-bagi kecuali jika diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), seperti ditetapkan dalam Pasal 2 UUHT. Dengan sifatnya yang tidak dapat dibagi-bagi, maka Hak Tanggungan akan membebani secara utuh objek Hak tanggungan. Hal ini mengandung arti bahwa apabila hutang (kredit) yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan baru dilunasi sebagian, maka Hak Tanggungan tetap membebani seluruh objek Hak Tanggungan. Subekti, Op.Cit, hal. 41 Klausula “kecuali jika diperjanjikan dalam APHT” dalam Pasal 2 UUHT, dicantumkan dengan maksud untuk menampung kebutuhan perkembangan dunia perbankan, khususnya kegiatan perkreditan. Dengan menggunakan klausula tersebut, sifat tidak dapat dibagi-bagi dari Hak Tanggungan dapat disimpangi, yaitu dengan memperjanjikan bahwa apabila Hak Tanggungan dibebankan pada beberapa hak atas tanah, maka pelunasan kredit yang dijamin dapat dilakukan dengan cara angsuran.
            Besarnya angsuran sama dengan nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian dari objek Hak Tanggungan, yang akan dibebaskan dari Hak Tanggungan tersebut. Dengan demikian setelah suatu angsuran dibayarkan, Hak Tanggungan hanya akan membebani sisa objek Hak tanggungan untuk menjamin sisa kredit yang belum dilunasi (Penjelasan Pasal 2 ayat (1) jo ayat (2) UUHT). Sifat lain dari Hak Tanggungan adalah Hak tanggungan merupakan accecoir dari perjanjian pokok, artinya bahwa perjanjian Hak Tanggungan bukan merupakan perjanjian yang berdiri sendiri, tetapi keberadaannya adalah karena adanya perjanjian lain yang disebut dengan perjanjian pokok.
            Perjanjian pokok bagi perjanjian Hak Tanggungan adalah perjanjian hutang piutang yang menimbulkan hutang yang dijamin itu. Sutan Remi Syahdeini, 1996, Hak Tanggungan: Asas-asas, Ketentuan-ketentuan Pokok dan Masalah-masalah yang dihadapi Oleh Pihak Perbankan, suatu Kajian Mengenai UUHT, Airlangga University Press, Surabaya, hal. 20 Hal ini sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam butir 8 Penjelasan Umum UUHT yang memberikan penjelasan bahwa karena Hak Tanggungan menurut sifatnya merupakan ikatan atau accecoir pada suatu piutang tertentu, yang didasarkan pada suatu perjanjian hutang piutang atau perjanjian lain, maka kelahiran dan keberadaanya ditentukan oleh adanya piutang yang dijamin pelunasan.


Prosedur atau Tata Cara Pendaftaran Hak Tanggungan


            Menurut Pasal 13 UUHT, pamberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan ke Kantor Pertanahan selambat-lambatnya 7 hari kerja setelah penandatanganan APHT. PPAT wajib mengirimkan APHT yang bersangkutan dan berkas lainnya yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan.[12]
Kewajiban pendaftaran Hak Tanggungan dapat ditemukan rumusannya dalam pasal 13 Undang-Undang Hak Tanggungan, yang menyatakan sebagai berikut:

Pasal 13 :
1) Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan
2) Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan dalam Pasal 10 ayat (2), PPAT wajib mengirimkan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan dan warkat lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan.
3) Pendaftaran Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuatkan buku tanah Hak Tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah atas tanah yang menjai objek Hak Tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan.
4) Tanggak buku tanah Hak Tanggunga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku tanah yang bersangkutan diberi bertanggal hari kerja berikutnya dimaksudkan agar pembuatan buku tanah Hak Tanggungan tidak berlarut-larut sehingga dapat merugikan pihak-pihak yang berkepentingan dan mengurangi jaminan kepastian hukum.
5) Hak tanggungan lahir pada hari tanggal buku tanah Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)

          Dari rumusan masalah pasal 13 Undang-Undang Hak Tanggungan tersebut dapat diketahui bahwa Hak Tanggungan lahir pada saat pendaftaran Hak Tanggungan pada buku Tanah hak atas tanah yang dibebankan dengan hak tanah.
            Pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan atas dasar data di dalam APHT serta berkas pendaftaran yang diterimanya dari PPAT, dengan dibuatkan buku tanah Hak Tanggungan. Bentuk dan isi buku tanah Hak Tanggungan telah ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri agraria no. 3 tahun 1997

                 Sehubungan dengan pendaftaran Hak Tanggungan atas tanah ini, yang merupakan salah satu bentuk pandaftaran tanah ini, perlu diketahui bahwa sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria, system pendaftaran tanah yang dibelakukan adalah registration of dead, dengan registration of dead dimaksudkan bahwa yang didaftarkan adalah akta yang memuat perbuatan hukun yang melahirkan hak atas tanah, termasuk di dalamnya eigendom Hak Milik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Hukum Perdata.
            Untuk memberikan kekuatan yang sama dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap,sertifikat Hak Tanggungan diberi irah-irah dengan membubuhkan pada sampulnya kalimat “ DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” (pasal 14 ayat (2) dan (3) UUHT). Dengan pencamtuman irah-irah tersebut pada sertifikat Hak Tanggungan maka untuk itu dapat dipergunakan Lembaga Parate Eksekusi sebagaimana dimaksud dalam pasal 224 HIR dan 258 Rbg. Setelah sertifikat Hak Tanggungan selesai dibuat, kemudian sertifikat Hak Tanggungan tersebut diserahkan kepada pemegang Hak Tanggungan yang bersangkutan.
System pendaftaran tanah yang demikian jelas menyulitkan, dan memakan waktu yang lama dan banyak manakala seseorang bermaksud unutk mencari tahu Hak Milik atas benda tidak bergerak, termasuk ada tidaknya beban-beban yang diletakkan di atasnya.
            Untuk keperluan tersebut, maka Robert Richard Torrens menciptakan suatu system pendaftaran tanah, yang selanjutnya disebut dengan registration of titles, atau system Torrens. Dalam system registration of titles ini, setiap penciptaan hak baru, peralihan hak, termasuk pembebanannya harus dapat dibuktikan dengan suatu akta. Akan tetapi akta tersebut tidaklah didaftar, melainkan haknya yang dilahirkan dari akta tersebut yang didaftarkan. Dengan demikian berarti akta hanyalah dipergunakan sebagai sumber data untuk memperoleh kejelasan mengeani terjadinya suatu hak, peralihan hak atau pembebanan hak. Setiap orang yang memerlukan data yuridis yang lengkap akta suatu hak atas tanah, tidak perlu lagi untuk mempelajari seluruh akta yang berhubungan dengan hak atas tanah tersebut, melainkan cukup bisa dipelajari urutan pemberian hak, perubahan pemegang hak, dan pembebanan yang dicatat dalam system yang dianut Undan-Undang Pokok Agraria, yang dilaksanakan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah dan selanjutnya Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 19997 tentang Pendaftaran Tanah yang menggantikan Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961 tersebut. Demikianlah rumusan ketentuan pasal 19 Undang-Udang Pokok Agraria yang terdapat dan jelas pada pasal 19.

Dengan demikian berarti system pendaftaran tanah dibedakan ke dalam:

a. Registration of dead, yang dilakukan dalam bentuk pendaftaran aktanya, yang berisikan perbuatan hukum yang menerbitkan hak atas tanah atau pembebanannya. Setiap kali terjadi perubahan, yang merupakan bukti satu-satunya dari terjadinya perubahan tersebut. Cacat dalam salah satu prosese peralihan atau pembebanan, akan mengakibatkan akta-akta yang dibuat setelah menjadi tidak berkekuatan hukum sama sekali. Jadi dalam hal ini yang terjadi adalah positif.

b. Registration of title, yang mendaftarkan title hak yang diperoleh. Akta yang dibuat untuk menciptakan hak atau pembebanannya hanya dipergunakan unttuk menciptakan hak atau pembebanannya hanya dipergunakan sebagai rujukan pendaftaran hak  nya tersebut. Sehubungan dengan registration of title ini, dalam system Torrens Sertifikat Hak Atas tanah yang dikluarkan merupakan alat bukti sempurna bagi adanya hak atas tanah, perubahan atau adanya pembebanana hak atas tanah tersebut, serta tidak dapat diganggu gugat oleh siapa juga kecuali jika terbukti telah terjadi pemalsuan. Ini berarti dianut stelsel positif. Selain stelse positifl dianut dalam registrartion of title ini, juga dikenal stelsel negative. Jika dalam stelsel positif, pemegang Sertifikat Hak Atas  Tanah dilindungi, dalam stelsel negative, masih dimungkinkan proses pembuktian lain, selain dengan sertifikat hak atas tanah.
             Jika diperhatikan ketentuan Pasal 19 ayat (2) huruf c Undang-Undang Pokok Agraria tersebut, secara umum dapat dikatakn bahwa pendaftaran dilakukan dengan tujuan untuk memberikan alat bukti yang kuat. Hal ini menunjukkan pada kita semua bahwa dalam Undang-Undang Pokok Agraria, yang dianut dalam system pendaftaran yang dengan registration of title stelsel negative yang mengandung unsur positif.



Tata Cara Pemberian Hak Tanggungan

Cara Pemberian Hak Tanggungan
                Pemberian Hak Tanggungan harus dan hanya dapat diberikan melaui Akta Pembebanan Hak Tanggungan[13], yang dapat dilakukan :
1.   Secara langsung oleh yang berwenang untuk memberikan Hak Tanggungan,berdasarkan ketentuan paal 8 Undantg-undang Hak Tanggungan.
2.   Secara tidak langsung unutk melakukan dalam bentuk pemberian Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan. Untuk ini harus memenuhi ketentuan pasal 15 Undang-Undang Hak Tanggungan, dengan memperhatikan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanhan Nasional No.4 Tahun 1996 tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan untuk Menjamin Pelunasan Kredit-kredit tertentu.
                 Ketentuan formal mengenai bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) dapat dilihat dalam rumusan pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan yang menyatakan bahwa SKMHT harus dibuat dalam bentuk notaries atau akat Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Dengan demikian berarti SKMHT yang tidak dibuat dengan akta notaries atau akta PPAT tidaklah berlaku sebagai SKMHT.
           Selanjutnya mengenai ketentuan materiil yang harus dimaut dalam SKMHT juga dapat ditemukan dalam Pasal 15 ayat (1) Hak Tanggungan, yang dibuat dengan akta notaries atau akta PPAT tersebut harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukuman lain daripada membebankan Hak Tanggungan.
b. Tidak memuat kuasa subtitusi; Sehubungan sebagi kuasa substitusi asala pemberian dianggap dalam eangka penugasan yang bersifat perwakilan, misalnya Direksi Bank akan menugaskankepala abang atau pihak lain dala rangka pelaksanaan kuasa yang diberikan kepada bank.
c. Mencantumkan secara jelas objek Hak Tanggungan, jumlah utang nilai tanggungan dan nama serta identitas kreditornya, nama dan identitas debitor bukan pemberi Hak Tanggungan. Jumlah utang yang dijamin dapat berupa utang yang tleah ada atau yang telah diperjaniikan dengan jumlah tertentu atau jumlah yang pada saat pernohonan eksekusi Hak Tanggungan dapat ditettukan berdasarkan perjanjian yang menjadi dasar timbulnya hubungan utang piutang.

         Ini berarti SKMHT adala surat kuasa yang benar-benar khusus, hanya terbatar untuk memberikan atau membebankan Hak Tanggunagn semata-mata. Dalam hal SKMHT telah memenuhi syarat formal dan syarat substansil (materiil), maka ketentuan pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Hak Tanggungan menentukan bahwa Kuasa untuk Membebankan Hak Tanggungan tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apaun juga, kecuali karena kuasa tersebut telah dilaksankan atau karena telah habis jangka waktunya, yaitu karena :
a. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanh tang sudah terdaftar tidak diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan dalam jangka waktu selambat-lambantnya 1 (satu) bukan sesudah diberikan;
b. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar tidak diikuti dengan jangka waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) bula sesudah diberikan

            Mengenai bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.3 Tahun 1996 tentang Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Buku Tanah Hak Tanggungan dan Sertifikat Hak Tanggungan tersebut, yang wajib memuat keterangan-keterangan tersebut diatas.
                Terhadap Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang dibrikan untuk menjamin kredit tertentu yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, ketentuan tersebut tidak berlaku. Dalam hubungannya dengan jaminana pemberian kredit tertentu tealh dikeluarkan Peraturan Pemerintah Negara Agraria/Kepala Badan Pertanhan Nasional No. 4 Tahun 1996 tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Kredit-kredit tertentu.  Peraturan Menteri Negaa Agraria/Kepala Badan Pertanhan Nasional no.4 Tahun 1996, yang terdiri dari 3 pasal tersebur secara lengkap yang terdiri dari pasal 1, pasal 2, dan pasal 3.


Hapusnya Hak Tanggungan


A.    Pengertian Hapusnya Hak Tanggungan

Hapusnya Hak tanggungan diatur dalam   Pasal 18 sampai dengan 19 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996. Yang dimaksud dengan hapusnya Hak Tanggungan adalah tidak berlakunya lagi Hak Tanggungan.

B.     Sebab-sebab Hapusnya Hak Tanggungan

            Ada 6 (enam) cara berakhirnya atau hapusnya Hak Tanggungan, keenam cara tersebut disajikan sebagai berikut[14]:
1.    dilunasinya hutang atau dipenuhinya prestasi secara suka rela oleh debitur. Disini tidak terjadi cedera janji atau sengketa.
2.    debitur tidak memenuhi tepat pada waktu, yang berakibat debitur akan ditegur oleh kreditur untuk memenuhi prestasinya. Teguran ini tidak jarang disambut dengan dipenuhinya prestasi oleh debitur  dengan suka rela. Sehingga dengan demikian utang debitur lunas dan perjanjian utang piutang berakhir.
3.    Debitur cedera janji. Dengan adanya cedera cedera janji tersebut, maka kreditur dapat mengadakan parate eksekusi dengan menjual lelang barang yang dijaminkan tanpa melibatkan pengadilan. Utang dilunasi dari hasil penjualan barang tersebut. dengan demikian, perjanjian utang piutang berakhir.
4.    Debitur cedera janji, maka kreditur dapat mengajukan sertifikat Hak Tanggungan ke pengadilan untuk dieksekusikan berdasarkan pasal 224 HIR yang diikuti pelelanngan umum. Dengan dilunasi utang dari hasil penjualan lelang, maka perjanjian utang piutang berakhir. Disini tidak terjadi gugatan.
5.    Debitur cedera janji dan tetap tidak mau memenuhi prestasi maka debitur digugat oleh kreditur, yanng kemudian diikuti oleh putusan pengadilan yang memenangkan kreditur (kalau terbukti). Putusan tersebut dapat dieksekusi secara suka rela seperti yang terjadi pada cara yang kedua dengan dipenuhinya prestasi oleh debitur tanpa pelelangan umum dan dengan demikian perjanjian utang piutang berakhir.
6.    Debitur tidak mau melaksanakan putusan penngadilan yang mengalahkannya dan menghukum melunasi utangnya maka putusan pengadilan dieksekusi secara paksa dengan pelelangan umum yang hasilnya digunakan untuk melunasi hutang debitur, dan mengakibatkan perjanjian utang piutang berakhir.

                  Walaupun hak atas tanah itu hapus, namun pemberian Hak Tanggungan tetap berkewajiban untuk membayar hutangnya. Hapusnya Hak Tanggungan yang dilepas oleh pemegang Hak Tanggungan dilakukan dengan pemberian pernyataan tertulis, mengenai dilepaskannya Hak Tanggungan tersebut oleh pemegang Hak Tanggungan kepada pemberi Hak Tanggungan. Hapusnya Hak Tanggungan karena pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan pringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri terjadinya karen permohonan pembeli hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan tersebut agar hak atas tanah yang dibelinya itu dibersihkan dari beban Hak Tanggungan.
Pitlo berpendapat bahwa Hak Tanggungan hapus dalam  hal-hal sebagai berikut:
1.      Berakhirnya perikatan
2.      Hak Tanggungan dilepaskan kreditur
3.      Musnahnya obyek Hak Tanggunngan
4.      Kedudukan pemegang dan pemberi Hak Tanggungan jatuh dalam satu tangan
5.      Berakhirnya perjanjian pemberian  Hak Tanggungan
6.      Berakhirnya hak pemberi Hak Tanggungan
7.      Syarat batal dalam perjanjian  pemberian Hak Tanggungan
8.      Pemerintah mencabut hak atas tanah
9.      Penetapan peringkat oleh hakim
10.  Jika eksekusi telah dilaksanakan

P.A. Stein mengemukakan pula 6  (enam) cara hapusnya Hak Tanggungan:
1. Hapusnya hutang, yang dijamin oleh Hypotheek
2. Afstand hypotheek
3. Lenyapnya benda hypotheek
4. Percampuran kedudukan pemegang dan pemberi hypotheek
5. Pencoretan, karena pembersihan dan kepailitan
6. Pencabutan hak milik.

Selain itu, sebab-sebab yang menghapus Hak Tanggungan ditentukan dalam Pasal 18 ayat (1) UUHT. Menurut Pasal 18 ayat (1) UUHT tersebut, Hak Tanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut :
a) Hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;
       Karena Hak Tanggungan merupakan jaminan utang yang pembebanannya adalah untuk kepentingan kreditur (pemegang Hak Tanggungan) adalah logis bila Hak Tanggungan dapat (dan hanya dapat) dihapuskan oleh kreditur (pemegang Hak Tannggungan) sendiri. Sedangkan pemberi Hak Tanggungan tidak mungkin dapat membebaskan Hak Tanggungan itu.
            Sesuai dengan sifat Hak Tannggungan yang  accesoir, adanya Hak Tanggungan bergantung kepada adanya piutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan itu. Oleh karena itu, apabila piutang itu hapus karena pelunasan atau karena sebab-sebab lainnya, dengan sendirinya Hak Tanggungan yang bersangkutan menjadi hapus juga.

b) Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan;
            Mengenai hapusnya Hak Tanggungan karena dilepaskannya oleh pemegang Hak Tanggungan, ketentuan Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Hak Tanggungan menentukan sebagai berikut:
hapusnya Hak Tanggungan karena dilepaskannya oleh pemegangnya dilakukan dengan pemberian pernyataan tertulis mengenai dilepaskannya Hak Tanggungan tersebut oleh pemegang Hak Tanggungan kepada pemberi Hak Tanggungan.
Hal ini pokoknya sejalan dengan ketentuan Pasal 1381 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa:
Perikatan-perikatan hapus:
1.   Karena pembayaran;
2.   Karena penawaran pembayaran tunai, diikkuti dengan penyimpanan atau penitipan;
3.   Karena pembaruan utang;
4.   Karena perjumpaan utang atau kompensasi;
5.   Karena percampuran utang;
6.   Karena pembebasan utang;
7.   Karena musnahnya barang yang terutang;
8.   Karena kebatalan atau pembatalan;
9.   Karena berlakunya suatu syarat batal;
10.     Karena lewatnya waktu.

            Tanpa adanya pernyataan bebas dari kreditot terhadap debitor, maka utang debitor masih tetap harus dipenuhi oleh debitor kepada kreditor. Demikian pula halnya suatu Hak Tanggungan, tanpa adanya pernyataan pelepasan Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan, maka Hak Tanggungan tidak pernah hapus.
        Tampak jelas, bahwa suatu Hak Tanggungan yang telah diberikan sebelum dilepaskan oleh pemegang Hak Tanggungan tidak akan hapus dan akan terus berlaku untuk menjamin pelunasan utang yang masih akan ada di kemudian hari selama dan sepanjang perikatan pokok antara debitor dan  kreditor pemegang Hak Tanggungan yang (akan) lahir dari perjanjian antara mereka tidak atau belum dihapuskan.
            Dalam konteks ini pun, untuk kepentingan praktis, maka pernyataan tertulis kreditor pemegang Hak Tanggungan mengenai maksudnya untuk melepaskan Hak Tanggungan harus disampaikan agar pencoretan Hak Tanggungan dapat dilakukan.

c) Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh  Ketua Pengadilan Negeri;
           Mengenai hapusnya Hak Tanggungan sebagai akibat pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri, dilaksanakan menurut ketentuan Pasal 18 ayat (3) Undang-undang Hak Tanggungan yang berbunyi:
Hapusnya Hak Tanggungan karena pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri terjadi karena permohonan pembeli hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan tersebut agar hak atas tanah yang dibelinya itu dibersihkan dari beban  Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam Pasal 19.
          Dari konteks rumusan yang diberikan dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Hak Tanggungan tersebut dapat diketahui bahwa hapusnya Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri terjadi karena terdapat lebih dari satu Hak Tanggungan yang diletakkan atas bidang tanah tersebut. Selanjutnya, dari rumusan Pasal 19 Undang-Undang  Hak Tanggungan yang menyatakan bahwa:
1)              Pembeli objek Hak Tanggungan, baik dalam suatu pelelangan umum atas perintah Ketua Pengadilan Negeri maupun dalam jual beli sukarela, dapat meminta kepada pemegang Hak Tanggungan agar benda yang dibelinya dibersihkan dari segala beban Hak Tanggungan yang melebihi harga pembelian.

2)              Pembersihan obyek Hak Tanggungan agar benda yang dibelinya itu dibersihkan dari segala beban Hak Tanggungan yang melebihi harga pembelian.

3)              Apabila obyek Hak Tanggungan dibebani lebih dari satu Hak Tanggungan dan tidak terdapat kesepakatan diantara para pemegang Hak Tanggungan tersebut mengenai pembersihan obyek Hak Tanggungan dari beban yang melebihi harga pembeliannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pembeli benda tersebut dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi letak obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan untuk menetapkan pembersihan itu dan sekalligus menetapkan ketentuan mengenai pembagian hasil penjualan lelang diantara para yang berpiutang dan peringkat mereka menurut perundang-undangan yang berlaku.

4)              Permohonan pembersihan obyek Hak Tanggungan dari Hak Tanggungan yang membebaninya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat dilakukan oleh pembeli benda tersebut, apabila pembelian demikian itu dilakukan dengan jual beli sukarela dan dalam Akte Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan para pihak denga telah tegas memperjanjikan bahwa obyek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari beban Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf f.


            Dapat diketahui bahwa permintaan penghapusan tersebut dapat dimintakan oleh setiap pembeli hak atas tanah, yang diatasnya terletak beban berupa Hak Tanggungan yang jumlahnya lebih dari satu, dengan ketentuan bahwa:
1.   Jika pembelinya dilakukan melalui pelelangan, maka  pembersihan harus dikabulkan oleh Ketua Pengadilan Negeri;

2.   Jika pembelinya dilakukan melalui penjualan sukarela, maka pembersihan dikabulkan jika dalam perjanjian pemberian Hak Tanggungan yang selanjutnya tidak tercantum janji untuk tidak akan dibersihkan dari beban Hak Tanggungan, hingga seluruh kewajiban debitor   dipenuhi. Dengan demikian berarti dalam hal perjanjian pemberian atau pembebanan Hak Tanggungan dimuat janji bahwa objek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari beban Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf f Undang-Undang Hak Tanggungan, maka pembeli objek Hak Tanggungan melalui penjualan sukarela tidak dapat meminta agar hak atas tanahnya dibersihkan.

Pasal 11
(2) Dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dapat dicantumkan janji- janji, antara lain:
f.    janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan pertama bahwa objek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak Tanggungan;

          dari ketentuan tersebut diatas , dapat diketahui bahwa hanya pembeli kebendaan yang dijaminkan dengan Hak Tanggungan melalui pelelangan (umum) yanng dapat secara mutlak meminta pembersihan Hak Tanggungan dan sekaligus meminta kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk membagi hasil penjualan kebendaan tersebut manakala terjadi sengketa mengenai pembersihan objek Hak Tanggungan tersebut.
       Secara teoretis masalah perolehan pembuktian dapat muncul dari pemegang Hak Tanggungan peringkat ke-2 dan seterusnya, manakala hasil penjualan tidak mencukupi untuk melunasi piutang mereka. Untuk itu maka, khusus bagi pembeli melaluui pelelanngan umum, mereka ini diberikan suatu kepastian bahwa kebendaan yang dibeli adalah bebas dari segala beban, maka itu mereka berhak untuk menuntut pembebasan tersebut, meskipun hal tersebut mungkin dapat merugikan pemegang Hak Tanggungan peringkat ke-2 dan seterusnya.

a. Tujuan diadakannya lembaga pembersihan
         Lembaga pembersihan ini diadakan untuk melindungi kepentingan pembeli obyek Hak Tanggungan agar benda yang dibelinya bebas dari Hak Tanggungan yang semula membebaninya, jika harga pembelian itu tidak mencukupi untuk melunasi utang yang dijamin (lihat Penjelasan Pasal 19 ayat (1) UUHT).
                Jika obyek Hak Tanggungan akan dijual, pembeli obyek Hak Tanggungan tentu tidak tertarik untuk memebeli obyek Hak Tanggungan ittu, karena pemegang Hak Tanggungan berdasarkan hak kebendaannya senantiasa berhak mengejar pembeli agar membayar kekurangan yang dideritanya akibat dari harga jual yang lebih rendah dari piutangnya.
                Di dalam konteks ini ada konflik antara dua asas, yaitu hak kebendaan dari Hak Tanggungan dan penjualan obyek Hak Tanggungan. Dari konflik inilah lahir konsep “pembersihan” (zuivering) sebagai upaya hukum untuk membebaskan obyek Hak Tanggungan dari tagihan yang melekat diatas obyek itu, karena harga jualnya lebih rendah dari jumlah kredit yang dijamin Hak Tanggungan itu.

b. Tata cara pembersihan
    UUHT  menentukan tata cara pembersihan itu sebagai berikut:
a. Obyak Hak Tanggungan dibebani satu Hak Tanggungan
b. Obyek Hak Tanggungan dibebani lebih dari satu Hak Tanggungan, maka ditempuh tatacara  sebagai berikut:
            Dalam hal tidak terdapat kesepakatan diantara pemegang Hak Tanggungan, maka pembeli menngajukan ke Ketua Pengadilan Negeri di dalam wilayah mana obyek Hak Tanggungan itu terletak, mengenai:
- Pembersihan;
- Pembagian hasil penjualan lelang diantara pemegang Hak Tanggungan;
- Peringkat pemegang Hak Tanggungan.

d) Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.
         Alasan terakhir hapusnya Hak Tanggungan yang disebabkan karena hapusnya hak atas tanah yang dibebani  Hak Tanggungan tidak lain dan tidak bukan adalah sebagai akibat tidak terpenuhinya syarat objektif sahnya perjanjian, khususnya yang berhubungan dengan kewajiban adanya objek tertentu, yang salah satunya meliputi keberadaan dari bidang tanah  tertentu yang dijaminkan.
           Selain itu, mengenai hapusnnya Hak Tanggungan karena hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan adalah logis, karena keberadaan suatu Hak Tanggungan hanya mungkin bila telah atau masih ada objek yang dibebani dengan Hak Tanggungan itu. Objek dari Hak Tanggungan adalah hak-hak atas tanah yang berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas tanah negara. Karena itu Hak Tanggungan akan hapus apabila hak-hak atas tanah itu hapus atau berakhir.
         Perlu diperhatikan bahwa  khusus untuk Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai untuk rumah tinggal yang sedang dibebani Hak Tanggungan dan pemiliknya bermaksud untuk  meningkatkan statusnya menjadi Hak Milik berdasarkan ketentuan Peraturan Mentri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 tahun 1998 tentang Perubahan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas tanah untuk rumah tinggal yang dibebani Hak Tanggungan menjadi Hak Milik, berlaku ketentuan sebagaimana dibawah ini.
1) Perubahan hak tersebut dimohonkan oleh pemegang hak atas tanah dengan persetujuan dari pemegang Hak Tanggungan.
2)  Perubahan hak tersebut mengakibatkan Hak Tanggungan dihapus.
3) Kepala Kantor Pertanahan karena jabatannya, mendaftar  hapusnya Hak Tanggungan yang membebani Hak Guna Bangunan atas Hak Pakai yang diubah menjadi Hak Milik bersamaan dengan pendaftaran Hak Milik yang bersangkutan.
4)  Untuk melindungi kepentingan kreditur/ bank yang semula dijammin dengan Hak Tanggungan atas Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang menjadi hapus.  sebelum perubahan hak didaftar, pemegang hak atas tanah dapat memberikan SKMHT dengan objek Hak Millik yang diperolehnya sebagai perubahan dari Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai tersebut.
5) Setelah perubahan hak dilakukan, pemegang hak atas tanahdapat membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) atas Hak Milik yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan hadir sendiri atau melalui SKMHT.

           Berdasarkan ketentuan PMNA/KBPN tersebut saat hapusnya Hak Tannggungan adalah pada saat pendaftaran Hak Milik. Oleh karena itu, sebelum perubahan hak didaftar, pemegang hak atas tanah sebaiknya memberikan SKMHT dengan objek Hak Milik yang diperolehnya, karen asetelah Hak Milik terdaftar, Hak Tanggungan tersebut menjadi hapus. Pada saat hapusnya Hak Tanggungan itu kreditur menjadi kreditur konkuren yang hanya dijamin dengan SKMHT. Namun, kemudian kreditur dapat membuat APHT berdsarkan SKMHT itu. Hak Tanggungan itu lahir pada tanggal buku tanah Hak Tanggungan , yaitu tanggal hari ketujuh  setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya.
Terhadap ketentuan PMNA/KBPN terdapat beberapa hal yanng perlu diperhatikan, yaitu:
1. Jangka waktu SKMT. Berdasarkan Pasal 3 ayat (2) PMNA/KBPN tersebut, jangka waktu SKMHT terbatas yaitu sebagaimana termuat dalam Pasal 15 ayat (4) dan (5) UUHT.
2. Peringkat SKMHT. Tidak diatur mengenai peringkat apabila ada beberapa SKMHT. Akan tetapi, mengingat bahwa SKMHT dibuat untuk objek tanah Hak Milik yang bidang tanahnya adalah sama dengan bidang tanah Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai sebelumnya dan utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan adalah sama dengan hutang yang dijamin sebelumnya dan krediturnya adalah tetap, peringkat Hak Tanggungan pada saat dibuat SKMHT, seyogyanya adalah sesuai dengan peringkat yang termuat dalam sertifikat Hak Tanggungan yang semula membebani  tanah Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai. Kreditur pemegang  SKMHT ini haruslah kreditur yang semula pemeganng Hak Tanggungan, sebab ketentuan PMNA/KBPN ini dibuat untuk memberikan kepastian hukum bagi pemegang Hak Tanggungan yang tanahnya sedang dimohonkan perubahan hak atas tanah.
3. Atas perubahan hak, bagi kreditur perlu memperhatikan bahwa terdapat periode dimana kreditur tidak lagi menjadi kreditur preferen, yaitu sejak Hak Tanggungan hapus (pada saat Hak Milik terdaftar) sampai saat Hak Tanggungan terdaftar. Pada periode tersebut, kreditur hanya berkedudukan sebagai kreditur pemegang SKMHT. Mengingat bahwa APHT hanya dapat dibuat setelah Hak Milik terdaftar, periode tersebut memakan waktu sesuai dengan ketentuan lahirnya Hak Tanggungan, yaitu tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya.
4. ketentuan PMNA/KBPN tersebut hanya berlaku khusus untuk tanah Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai untuk rumah tinggal yang sedang dibebani Hak Tanggungan.

C.    Tata Cara Penghapusan Hak Tanggungan
         Sebagaimana telah dikemukakan diatas bahwa Hak Tanggungan dapat dengan sengaja dihapuskan, baik dari kehendak dari pemegang Hak Tanggungan itu sendiri maupun karena pembersihan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri. Hapusnya Hak Tanggungan karena dilepaskan oleh pemegangnya  dilakukan dengan pemberian pernyataan tertulis mengenai dilepaskannya Hak Tanggungan tersebut oleh pemegang Hak Tanggungan kepada pemberi Hak Tanggungan.
          Tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai proses apa yang harus dilakukan  setelah pemberi Hak Tanggungan menerima pemberian pernyataan tertulis tersebut. Menurut penulis, karena pemberian Hak Tangggungan wajib didaftarkan pada kantor pertanahan dan lahirnya Hak Tanggungna adalah pada hari didaftarkannya Hak Tanggungan itu pada buku tanah hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan  tersebut serta dengan pendaftaran Hak Tanggungan itu, Hak Tanggungan itu berlaku terhadap pihak ketiga. Karena itu, setelah pemberi Hak Tanggungan menngajukan surat permohonan kepada Kantor Pertanahan dengan dilampiri surat pernyataan tertulis tersebut agar Hak Tanggungan tersebut dicatat pada buku-tanah hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan bahwa Hak Tanggungna itu telah dilepaskan oleh pemegangnya. Hanya dengan demikian, Hak Tanggungan itu menjadi hapus dan tidak mengikat lagi baggi pihak ketiga.
       Hapusnya Hak Tanggungan karena pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Penngadilan Negeri terjadi dengan diajukannya permohonan oleh pembeli hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan tersebut agar hak atas tanah yang dibelinnya itu dibersihkan dari beban Hak Tanggungan tersebut.


Roya Hak Tanggungan
             

                 Pengertian Roya secara umum adalah pencoretan Hak Tanggungan yang melekat pada buku tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan[15], karena hapusnya Hak Tanggungan yang membebani atas tanah. Permohonan Roya diajukan kepada instansi yang berwenang yaitu Badan Pertanahan Nasional (BPN).
              Hapusnya Hak Tanggungan terjadi karena peristiwa-peristiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) UU No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan Tanah (selanjutnya cukup disebut UUHT), yaitu sbb :
1.    Hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;
2.    Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan;
3.    Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri;
4.    Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.

            Prosedur pelaksanaan Roya sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (4) UU HT tentang Hak Tanggungan adalah sebagai berikut: “Permohonan pencoretan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh pihak yang berkepentingan dengan melampirkan sertipikat Hak Tanggungan yang telah diberi catatan oleh kreditor bahwa Hak Tanggungan hapus karena piutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan itu sudah lunas, atau pernyataan tertulis dari kreditor bahwa Hak Tanggungan telah hapus karena piutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan itu telah lunas atau karena kreditor melepaskan Hak Tanggungan yang bersangkutan.”
 
            Berikut ini dokumen-dokumen yang harus dipersiapkan sebelum mengurus Roya ke Badan Pertanahan Nasional setempat :
  1. Asli sertifikat atas tanah (dan bangunan jika ada), misal SHGB atau SHM –> sudah atas nama anda sendiri
  2. Asli sertifikat hak tanggungan (sehubungan dengan adanya APHT atas sertifikat tanah anda)
  3. Salinan Akta Jual Beli (AJB) atas kavling (dan bangunan)
  4. Asli Ijin Mendirikan Bangunan (IMB)
  5. Asli peta situasi
  6. Asli blue print denah/konstruksi bangunan
  7. Surat Keterangan Lunas dari Bank pemberi Kredit KPR
  8. Surat Pengantar Roya dari Bank pemberi Kredit KPR


Eksekusi Hak Tanggungan


Eksekusi Hak Tanggungan dan Penjualan di Bawah Tangan.[16]
A.  Eksekusi Hak Tanggungan

       Apabila debitor cidera janji, obyek HT oleh kreditor pemegang HT dijual melalui pelelangan umum menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang undangan yang berlaku dan kreditor pemegang HT berhak mengambil seluruh atau sebagian dari hasil pelelangan tersebut untuk pelunasan piutangnya yang dijamin dengan HT tersebut, dengan hak mendahului daripada kreditor-kreditor yang lain. Inilah yang disebut eksekusi HT.
       Kreditor berhak mengambil pelunasan piutang yang dijamin dari hasil penjualan obyek HT, dengan hak mendahului daripada kreditor lain yang mempunyai peringkat yang lebih rendah atau yang bukan kreditor pemegang HT. dalam hal hasil penjualan itu lebih besar daripada piutang tersebut yang setinggi-tingginya sebesar nilai tanggungan, sisanya menjadi hak pemberi HT untuk memenuhi kewajibannya yang lain.
       Hak Tanggungan bertujuan untuk menjamin utang yang diberikan pemegang Hak Tanggungan kepada debitor. Apabila debitor cidera janji, tanah (hak atas tanah) yang dibebani dengan Hak Tanggungan itu berhak dijual oleh pemegang HT tanpa persetujuan dari pemberi Hak Tanggungan dan pemberi Hak Tanggungan tidak dapat menyatakan keberatan atas penjualan tersebut.
       Agar pelaksanaan penjualan itu dapat dilakukan secara jujur (fair), UUHT mengharuskan agar penjualan itu dilakukan melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perUndang-Undangan yang berlaku. Dengan ditentukannya oleh pasal 20 ayat (1) UUHT.
       Pasal 6 UUHT memberikan kewenangan kepeda pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual Objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri. Dengan demikian pemegang Hak Tanggungan pertama tidak perlu meminta persetujuan terlebih dahulu dari pemberi Hak Tanggungan dan tidak perlu pula meminta Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Setempat untuk melakukan eksekusi tersebut.

B.  Penjualan di Bawah Tangan

       Pada prinsipnya setiap eksekusi harus dilakukan melalui pelelangan umum, karena dengan cara demikian diharapkan dapat diperoleh harga yang paling tinggi untuk obyek HT yang dijual. Dalam keadaan tertentu apabila melalui pelelangan umum diperkirakan tidak menghasilkan harga tertinggi, atas kesepakatan pemberi dan pemegang HT dan dipenuhinya syarat-syarat tertentu, dimungkinkan eksekusi dilakukan dengan cara penjualan obyek HT oleh kreditor pemegang HT di bawah tangan, jika dengan cara demikian itu akan dapat diperolah haraga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Hal ini ditentukan dalam Pasal 20 ayat (2) UUHT.
       Penjualan obyek HT “di bawah tangan” artinya penjualan yang tidak melalui pelelangan umum. Namun penjualan tersebut tetap wajib dilakukan menurut ketentuan PP 24/1997 tentang Pendaftaran tanah. Yaitu dilakukan di hadapan PPAT yang membuat aktanya dan diikuti dengan pendaftarannya di kantor Pertanahan.
       Dengan ketentuan seperti ini berarti Bank tidak mungkin melakukan penjualan di bawah tangan terhadap objek Hak Tanggungan atau agunan kredit itu apabila debitor tidak menyetujuinya karena penjualan di bawah tangan seperti ini hanya dapat dilakukan bila ada kesepakatan antara pemberi dan pemegang Hak Tanggungan. Dikuatirkan jual beli di bawah tangan dianggap merupakan transaksi yang melanggar hukum sehingga dapat terancam batal demi hukum atau dapat dibatalkan oleh hakim (atas permintaan pihak-pihak tertentu, termasuk atas permintaan pemberi Hipotik itu sendiri), karena di dalam ketentuan Hipotik tidak secara tegas menentukan boleh atau tidak dilakukan penjualan dibawah tangan atas objek Hipotik. Hal inlah yang menimbulkan banyak keraguan didalam masyarakat.
       Berdasarkan surat kuasa untuk menjual dibawah tangan dari pemberi Hak Tanggungan sebenarnya jual-beli itu sah saja akan tetapi apabila ternyata penjualan itu terjadi dengan harga yang jauh di bawah harga wajar, pemberi hak tanggungan dan debitor itu sendiri (dalam hal debitor bukan pemilik objek Hak Tanggungan) dapat mengajukan gugatan terhadap bank. Gugatan itu sendiri bukan diajukan terhadap pelaksanaan penjualannya, tetapi berdasarkan dalih bahwa penjualan objek Hak Tanggungan harus dilakukan melalui pelelangan umum. Harga penjualan itu yang dinilai tidak wajar, dan dalih dapat diajukan oleh penggugat adalah bahwa bank telah melakukan perbuatan melawan hukum atau bertentangan dengan kepatutan atau bertentangan dengan keadilan atau bertentangan dengan asas I’tikad baik.
       Sesuai dengan asas kepatutan dan I’tikad baik, bank tidak menentukan sendiri harga jual atas barang-barang agunan dalam rangka penyelesaian kredit macet nasabah debitur. Penaksiran harga dilakukan oleh suatu perusahaan penilai yang independen dan telah mempunyai reputasi baik. Dalam hal penjualan dilakukan dibawah tangan, dan harga tidak ditetapkan sendiri oleh bank, tetapi berdasarkan kesepakatan antara pemegang dan pemberi Hak Tanggungan atau berdasarkan penilaian harga oleh suatu perusahaan penilai yang independent.
       Menurut Pasal 20 ayat (3) UUHT, pelaksanaan penjualan di bawah tangan hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan pemegang Hak Tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan atau media massa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan.Maksud dari ketentuan pasal tersebut adalah untuk melindungi pihak-pihak yang berkepentingan, misalnya pemegang Hak Tanggungan kedua, ketiga, dan kreditor lain dari pemberi Hak Tanggungan. Pengumuman melalui media massa selain surat kabar, dapat dilakukan misalnya melalui radio atau televisi.
       Apabila pemberi Hak Tanggungan atau debitor (dalam hal debitor bukan pemilik objek Hak Tanggungan) ingin menghindari penjualan umum (pelelangan) atas objek Hak Tanggungan, hal itu hanya dapat dilakukan apabila pemberi Hak Tanggungan atau debitor melakukan pelunasan hutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan beserta biaya-biaya eksekusi yang telah dikeluarkan. Pelunasan itu masih tetap dapat dilakukan sampai saat pengumuman untuk lelang dikeluarkan.

C.   Sanksi-sanksi administratif

       Untuk menjamin kepastian hukum serta memberikan perlindungan kapada pihak-pihak yang berkepentingan, ditetapkan sanksi administratif yang dapat dikenakan kepada para pelaksana yang bersangkutan, atas pelanggaran atau kelalaian dalam memenuhi berbagai ketentuan pelaksanaan tugasnya masing-masing. Selain itu apabila mamanuhi syarat yang diperlukan, yang bersangkutan masih dapat digugat secara perdata dan/atau dituntut pidana.
       Sanksi administratif itu dapat berupa tegoran lisan, tegoran tertulis, pemberhentian sementara dari jabatan atau pemberhentian tetap dari jabatan, disesuaikan dengan berat ringannya pelanggaran atau kelalaian. Sanksi ini tertuju kepada PPAT dan notaris.



[1] Sumber: http://pustakabakul.blogspot.com/2013/07/pengertian-hak-tanggungan.html Diunduh: 24 November 2014. Penulis: Hadi Muttaqin.
[2] Sumber: http://pustakabakul.blogspot.com/2013/07/pengertian-hak-tanggungan.html Diunduh: 24 November 2014. Penulis: Hadi Muttaqin.
[3] Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal.18
[4] Sumber: http://debbyuntar.blogspot.com/2011/01/hak-tanggungan.html Diunduh: 8 Desember 2014 Penulis: Debby
[5] Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Burgerlijk Wetboek, Psl.1338-1341.
[6] Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.
[7] Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah.
[8] Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 2010 Tentang Jenis Dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Badan Pertanahan Nasional.
[9] Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 1996 Tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan untuk Menjamin Pelunasan Kredit-Kredit Tertentu.
[10] Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI No. 1 Tahun 2011 Tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah Tertentu.
[11] Sumber: http://sobatbaru.blogspot.com/2011/09/ciri-ciri-dan-sifat-hak-tanggungan.html. Diunduh: 26 November 2014. Penulis: Arianto Samier Irhash.
[12] Sumber: http://uthsamosir-law.blogspot.com/2012/06/prosedur-atau-tata-cara-pendaftaran-hak.html. Diunduh: 27 November 2014. Penulis: Saut O. Samosir
[13] Sumber: http://rudini76ban.wordpress.com/2009/07/07/hak-tanggungan-pemberian-dan-pendaftaran/. Diunduh: 27 November 2014. Penulis: Rudini Silaban
[14] Sumber: http://zfadly.blogspot.com/2012/04/hapusnya-hak-tanggungan.html. Diunduh: 27 November 2014. Penulis: Zul Fadli
[16] Sumber: http://pusatbantuanhukum.blogspot.com/2009/04/eksekusi-hak-tanggungan-apabila-debitor.html. Diunduh: 26 November 2014. Penulis: Bloggers (Pusat Bantuan Hukum)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar