HAK TANGGUNGAN
oleh: Mohammad Azhari
oleh: Mohammad Azhari
Pengertian Hak
Tanggungan
Beberapa pengertian Hak Tanggungan ditemui dalam
undang-undang dan pendapat para ahli, antara lain:
1. Menurut
Pasal 1 angka 1 Undang Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan/UUHT bahwa
Hak Tanggungan adalah hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan
dengan tanah yang selanjunya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang
dibebankan pada hak atas tanah yang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria berikut atau
tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah-tanah
itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan
kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya”.[1]
2. Menurut Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) sebagai
induk peraturan perundang-undang tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan
tanah, tidak mengatur secara tegas tentang Hak Tanggungan. Berdasarkan
ketentuan Pasal 51 UUPA dinyatakan bahwa: “Hak Tanggungan yang dapat dibebankan
pada Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan sebagaimana diatur dalam
Pasal 25, 33 dan 39 diatur dengan undang-undang”.[2]
3. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
bahwa, tanggungan
diartikan sebagai barang yang dijadikan jaminan. Sedangkan jaminan itu sendiri
artinya tanggungan atas pinjaman yang diterima (Kamus Besar Bahasa Indonesia,
1989:899).[3]
4. Menurut Prof. Budi Harsono mengartikan hak tanggungan adalah
"Penguasaan hak atas tanah, berisi kewenangan bagi kredi¬tur untuk berbuat
sesuatu mengenai tanah yang dijadikan agunan.Tetapi bukan untuk dikuasai secara
fisik dan di-gunakan, melainkan untuk menjualnya jika debitur cedera janji dan
mengambil dari hasilnya seluruhnya atau sebagian sebagai pembayaran lunas
hutang debitur kepadanya".[4]
Dasar Hukum Hak Tanggungan
Dasar hukum mengenai Hak Tanggungan
dapat kita temukan didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer),
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN.
Antara lain:
1. KUHPerdata
Pasal 1338-1341.[5]
2. Undang-Undang
No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan.[6]
3. Peraturan
Pemerintah No. 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak
Pakai atas Tanah pasal 15 ayat (1) dan (2), pasal 33 ayat (1) dan (2), dan
pasal 53 ayat (1) dan (2).[7]
4. Peraturan
Pemerintah No. 13 Tahun 2010 Tentang Jenis Dan Tarif atas Jenis Penerimaan
Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Badan Pertanahan Nasional.[8]
5. Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 1996
Tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan
untuk Menjamin Pelunasan Kredit-Kredit Tertentu.[9]
6. Peraturan
Kepala Badan Pertanahan Nasional RI No. 1 Tahun 2011 Tentang Pelimpahan
Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah Tertentu.[10]
Ciri-ciri
dan Sifat Hak Tanggungan
Dalam
Penjelasan Umum Undang-undang Hak Tanggungan No. 4 Tahun 1996 dikemukakan bahwa
sebagai lembaga hak jaminan atas tanah yang kuat, Hak Tanggungan harus
mengandung ciri-ciri[11]:
a. Droit de
preferent, artinya memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului
kepada pemegangnya (Pasal 1 angka 1 dan Pasal 20 ayat 1). Dalam hal ini
pemegang Hak Tanggungan sebagai kreditur memperoleh hak didahulukan dari
kreditur lainnya untuk memperoleh pembayaran piutangnya dari hasil penjualan
(pencairan) objek jaminan kredit yang diikat dengan Hak Tanggungan tersebut.
Kedudukan kreditur yang mempunyai hak didahulukan dari kreditur lain (kreditur
preferen) akan sangat menguntungkan kepada pihak yang bersangkutan dalam
memperoleh pembayaran kembali (pelunasan) pinjaman uang yang diberikannya
kepada debitur yang ingkar janji (wanprestasi).
b. Droit de
suite, artinya selalu mengikuti jaminan hutang dalam tangan siapapun objek
tersebut berada (Pasal 7). Dalam Pasal 7 UUHT disebutkan bahwa Hak tanggungan
tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek itu berada. Sifat ini
merupakan salah satu jaminan khusus bagi kepentingan pemegang Hak Tanggungan.
Meskipun objek dari Hak Tanggungan sudah berpindah tangan dan menjadi milik
pihak lain, kreditur masih tetap dapat menggunakan haknya melalui eksekusi,
jika debitur cidera janji.
c. Memenuhi
asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan
memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Berdasarkan
hal tersebut maka sahnya pembebanan Hak Tanggungan disyaratkan wajib disebutkan
dengan jelas piutang mana dan berapa jumlahnya yang dijamin serta benda-benda
mana yang dijadikan jaminan (syarat spesialitas), dan wajib didaftarkan di
Kantor Pertanahan sehingga terbuka untuk umum (syarat publisitas).
d. Mudah dan
pasti pelaksanaan eksekusinya Salah satu ciri Hak Tanggungan yang kuat
adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya jika debitur cidera janji.
Meskipun secara umum ketentuan mengenai eksekusi telah diatur dalam hukum acara
perdata yang berlaku, dipandang perlu untuk memasukkan secara khusus mengenai
eksekusi Hak Tanggungan dalam Undang-undang ini, yaitu yang mengatur mengenai
lembaga parate executie sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 HIR dan Pasal 258
Reglemen Hukum Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura. M. Bahsan , Op.Cit,
hal.23-25.
Hak
Tanggungan memiliki sifat tidak dapat dibagi-bagi kecuali jika diperjanjikan
dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), seperti ditetapkan dalam Pasal 2
UUHT. Dengan sifatnya yang tidak dapat dibagi-bagi, maka Hak Tanggungan akan
membebani secara utuh objek Hak tanggungan. Hal ini mengandung arti bahwa
apabila hutang (kredit) yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan baru
dilunasi sebagian, maka Hak Tanggungan tetap membebani seluruh objek Hak
Tanggungan. Subekti, Op.Cit, hal. 41 Klausula “kecuali jika diperjanjikan dalam
APHT” dalam Pasal 2 UUHT, dicantumkan dengan maksud untuk menampung kebutuhan
perkembangan dunia perbankan, khususnya kegiatan perkreditan. Dengan
menggunakan klausula tersebut, sifat tidak dapat dibagi-bagi dari Hak
Tanggungan dapat disimpangi, yaitu dengan memperjanjikan bahwa apabila Hak
Tanggungan dibebankan pada beberapa hak atas tanah, maka pelunasan kredit yang
dijamin dapat dilakukan dengan cara angsuran.
Besarnya
angsuran sama dengan nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian
dari objek Hak Tanggungan, yang akan dibebaskan dari Hak Tanggungan tersebut.
Dengan demikian setelah suatu angsuran dibayarkan, Hak Tanggungan hanya akan
membebani sisa objek Hak tanggungan untuk menjamin sisa kredit yang belum
dilunasi (Penjelasan Pasal 2 ayat (1) jo ayat (2) UUHT). Sifat lain dari Hak
Tanggungan adalah Hak tanggungan merupakan accecoir dari perjanjian pokok,
artinya bahwa perjanjian Hak Tanggungan bukan merupakan perjanjian yang berdiri
sendiri, tetapi keberadaannya adalah karena adanya perjanjian lain yang disebut
dengan perjanjian pokok.
Perjanjian
pokok bagi perjanjian Hak Tanggungan adalah perjanjian hutang piutang yang
menimbulkan hutang yang dijamin itu. Sutan Remi Syahdeini, 1996, Hak
Tanggungan: Asas-asas, Ketentuan-ketentuan Pokok dan Masalah-masalah yang
dihadapi Oleh Pihak Perbankan, suatu Kajian Mengenai UUHT, Airlangga University
Press, Surabaya, hal. 20 Hal ini sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam
butir 8 Penjelasan Umum UUHT yang memberikan penjelasan bahwa karena Hak
Tanggungan menurut sifatnya merupakan ikatan atau accecoir pada suatu piutang
tertentu, yang didasarkan pada suatu perjanjian hutang piutang atau perjanjian
lain, maka kelahiran dan keberadaanya ditentukan oleh adanya piutang yang
dijamin pelunasan.
Prosedur
atau Tata Cara Pendaftaran Hak Tanggungan
Menurut Pasal 13 UUHT, pamberian Hak
Tanggungan wajib didaftarkan ke Kantor Pertanahan selambat-lambatnya 7 hari
kerja setelah penandatanganan APHT. PPAT wajib mengirimkan APHT yang
bersangkutan dan berkas lainnya yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan.[12]
Kewajiban pendaftaran Hak Tanggungan
dapat ditemukan rumusannya dalam pasal 13 Undang-Undang Hak Tanggungan, yang
menyatakan sebagai berikut:
Pasal 13 :
1) Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan
pada Kantor Pertanahan
2) Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan
Akta Pemberian Hak Tanggungan dalam Pasal 10 ayat (2), PPAT wajib mengirimkan
Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan dan warkat lain yang diperlukan
kepada Kantor Pertanahan.
3) Pendaftaran Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuatkan buku tanah Hak Tanggungan
dan mencatatnya dalam buku tanah atas tanah yang menjai objek Hak Tanggungan
serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang
bersangkutan.
4) Tanggak buku tanah Hak Tanggunga sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
adalah hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang
diperlukan bagi pendaftarannya dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur,
buku tanah yang bersangkutan diberi bertanggal hari kerja berikutnya
dimaksudkan agar pembuatan buku tanah Hak Tanggungan tidak berlarut-larut
sehingga dapat merugikan pihak-pihak yang berkepentingan dan mengurangi jaminan
kepastian hukum.
5) Hak tanggungan lahir pada hari tanggal buku
tanah Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
Dari
rumusan masalah pasal 13 Undang-Undang Hak Tanggungan tersebut dapat diketahui
bahwa Hak Tanggungan lahir pada saat pendaftaran Hak Tanggungan pada buku Tanah
hak atas tanah yang dibebankan dengan hak tanah.
Pendaftaran
Hak Tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan atas dasar data di dalam APHT
serta berkas pendaftaran yang diterimanya dari PPAT, dengan dibuatkan buku
tanah Hak Tanggungan. Bentuk dan isi buku tanah Hak Tanggungan telah ditetapkan
berdasarkan Peraturan Menteri agraria no. 3 tahun 1997
Sehubungan
dengan pendaftaran Hak Tanggungan atas tanah ini, yang merupakan salah satu
bentuk pandaftaran tanah ini, perlu diketahui bahwa sebelum berlakunya
Undang-Undang Pokok Agraria, system pendaftaran tanah yang dibelakukan adalah
registration of dead, dengan registration of dead dimaksudkan bahwa yang
didaftarkan adalah akta yang memuat perbuatan hukun yang melahirkan hak atas
tanah, termasuk di dalamnya eigendom Hak Milik sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Hukum Perdata.
Untuk
memberikan kekuatan yang sama dengan putusan hakim yang telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap,sertifikat Hak Tanggungan diberi irah-irah dengan
membubuhkan pada sampulnya kalimat “ DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG
MAHA ESA” (pasal 14 ayat (2) dan (3) UUHT). Dengan pencamtuman irah-irah
tersebut pada sertifikat Hak Tanggungan maka untuk itu dapat dipergunakan
Lembaga Parate Eksekusi sebagaimana dimaksud dalam pasal 224 HIR dan 258 Rbg. Setelah
sertifikat Hak Tanggungan selesai dibuat, kemudian sertifikat Hak Tanggungan
tersebut diserahkan kepada pemegang Hak Tanggungan yang bersangkutan.
System
pendaftaran tanah yang demikian jelas menyulitkan, dan memakan waktu yang lama
dan banyak manakala seseorang bermaksud unutk mencari tahu Hak Milik atas benda
tidak bergerak, termasuk ada tidaknya beban-beban yang diletakkan di atasnya.
Untuk keperluan tersebut, maka
Robert Richard Torrens menciptakan suatu system pendaftaran tanah, yang
selanjutnya disebut dengan registration of titles, atau system Torrens. Dalam
system registration of titles ini, setiap penciptaan hak baru, peralihan hak,
termasuk pembebanannya harus dapat dibuktikan dengan suatu akta. Akan tetapi
akta tersebut tidaklah didaftar, melainkan haknya yang dilahirkan dari akta
tersebut yang didaftarkan. Dengan demikian berarti akta hanyalah dipergunakan
sebagai sumber data untuk memperoleh kejelasan mengeani terjadinya suatu hak,
peralihan hak atau pembebanan hak. Setiap orang yang memerlukan data yuridis
yang lengkap akta suatu hak atas tanah, tidak perlu lagi untuk mempelajari
seluruh akta yang berhubungan dengan hak atas tanah tersebut, melainkan cukup
bisa dipelajari urutan pemberian hak, perubahan pemegang hak, dan pembebanan
yang dicatat dalam system yang dianut Undan-Undang Pokok Agraria, yang
dilaksanakan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang
Pendaftaran Tanah dan selanjutnya Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 19997
tentang Pendaftaran Tanah yang menggantikan Peraturan Pemerintah No. 10 tahun
1961 tersebut. Demikianlah rumusan ketentuan pasal 19 Undang-Udang Pokok
Agraria yang terdapat dan jelas pada pasal 19.
Dengan demikian berarti system pendaftaran tanah dibedakan
ke dalam:
a. Registration of dead, yang
dilakukan dalam bentuk pendaftaran aktanya, yang berisikan perbuatan hukum yang
menerbitkan hak atas tanah atau pembebanannya. Setiap kali terjadi perubahan,
yang merupakan bukti satu-satunya dari terjadinya perubahan tersebut. Cacat
dalam salah satu prosese peralihan atau pembebanan, akan mengakibatkan
akta-akta yang dibuat setelah menjadi tidak berkekuatan hukum sama sekali. Jadi
dalam hal ini yang terjadi adalah positif.
b. Registration of title, yang
mendaftarkan title hak yang diperoleh. Akta yang dibuat untuk menciptakan hak
atau pembebanannya hanya dipergunakan unttuk menciptakan hak atau pembebanannya
hanya dipergunakan sebagai rujukan pendaftaran hak nya tersebut.
Sehubungan dengan registration of title ini, dalam system Torrens Sertifikat
Hak Atas tanah yang dikluarkan merupakan alat bukti sempurna bagi adanya hak
atas tanah, perubahan atau adanya pembebanana hak atas tanah tersebut, serta
tidak dapat diganggu gugat oleh siapa juga kecuali jika terbukti telah terjadi
pemalsuan. Ini berarti dianut stelsel positif. Selain stelse positifl dianut
dalam registrartion of title ini, juga dikenal stelsel negative. Jika dalam
stelsel positif, pemegang Sertifikat Hak Atas Tanah dilindungi, dalam
stelsel negative, masih dimungkinkan proses pembuktian lain, selain dengan
sertifikat hak atas tanah.
Jika diperhatikan ketentuan Pasal 19 ayat (2) huruf c
Undang-Undang Pokok Agraria tersebut, secara umum dapat dikatakn bahwa
pendaftaran dilakukan dengan tujuan untuk memberikan alat bukti yang kuat. Hal
ini menunjukkan pada kita semua bahwa dalam Undang-Undang Pokok Agraria, yang
dianut dalam system pendaftaran yang dengan registration of title stelsel
negative yang mengandung unsur positif.
Tata Cara
Pemberian Hak Tanggungan
Cara Pemberian Hak Tanggungan
Pemberian Hak Tanggungan harus dan
hanya dapat diberikan melaui Akta Pembebanan Hak Tanggungan[13],
yang dapat dilakukan :
1. Secara
langsung oleh yang berwenang untuk memberikan Hak Tanggungan,berdasarkan
ketentuan paal 8 Undantg-undang Hak Tanggungan.
2. Secara
tidak langsung unutk melakukan dalam bentuk pemberian Surat Kuasa Membebankan
Hak Tanggungan. Untuk ini harus memenuhi ketentuan pasal 15 Undang-Undang Hak
Tanggungan, dengan memperhatikan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanhan Nasional No.4 Tahun 1996 tentang
Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan untuk
Menjamin Pelunasan Kredit-kredit tertentu.
Ketentuan formal mengenai bentuk Surat
Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) dapat dilihat dalam rumusan pasal 15
ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan yang menyatakan bahwa SKMHT harus dibuat
dalam bentuk notaries atau akat Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Dengan
demikian berarti SKMHT yang tidak dibuat dengan akta notaries atau akta PPAT
tidaklah berlaku sebagai SKMHT.
Selanjutnya mengenai ketentuan
materiil yang harus dimaut dalam SKMHT juga dapat ditemukan dalam Pasal 15 ayat
(1) Hak Tanggungan, yang dibuat dengan akta notaries atau akta PPAT tersebut
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. Tidak memuat kuasa untuk melakukan
perbuatan hukuman lain daripada membebankan Hak Tanggungan.
b. Tidak memuat kuasa subtitusi; Sehubungan sebagi kuasa substitusi asala
pemberian dianggap dalam eangka penugasan yang bersifat perwakilan, misalnya
Direksi Bank akan menugaskankepala abang atau pihak lain dala rangka
pelaksanaan kuasa yang diberikan kepada bank.
c. Mencantumkan secara jelas objek
Hak Tanggungan, jumlah utang nilai tanggungan dan nama serta identitas
kreditornya, nama dan identitas debitor bukan pemberi Hak Tanggungan. Jumlah
utang yang dijamin dapat berupa utang yang tleah ada atau yang telah
diperjaniikan dengan jumlah tertentu atau jumlah yang pada saat pernohonan
eksekusi Hak Tanggungan dapat ditettukan berdasarkan perjanjian yang menjadi
dasar timbulnya hubungan utang piutang.
Ini berarti SKMHT adala surat kuasa
yang benar-benar khusus, hanya terbatar untuk memberikan atau membebankan Hak
Tanggunagn semata-mata. Dalam hal SKMHT telah memenuhi syarat formal dan syarat
substansil (materiil), maka ketentuan pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Hak
Tanggungan menentukan bahwa Kuasa untuk Membebankan Hak Tanggungan tidak dapat
ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apaun juga, kecuali karena
kuasa tersebut telah dilaksankan atau karena telah habis jangka waktunya, yaitu
karena :
a. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanh tang sudah
terdaftar tidak diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan dalam
jangka waktu selambat-lambantnya 1 (satu) bukan sesudah diberikan;
b. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah yang
sudah terdaftar tidak diikuti dengan jangka waktu selambat-lambatnya 3 (tiga)
bula sesudah diberikan
Mengenai
bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.3 Tahun 1996 tentang Bentuk Surat
Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Buku Tanah Hak Tanggungan dan Sertifikat Hak
Tanggungan tersebut, yang wajib memuat keterangan-keterangan tersebut diatas.
Terhadap Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang
dibrikan untuk menjamin kredit tertentu yang ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku, ketentuan tersebut tidak berlaku. Dalam
hubungannya dengan jaminana pemberian kredit tertentu tealh dikeluarkan
Peraturan Pemerintah Negara Agraria/Kepala Badan Pertanhan Nasional No. 4 Tahun
1996 tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan
Kredit-kredit tertentu. Peraturan Menteri Negaa Agraria/Kepala Badan
Pertanhan Nasional no.4 Tahun 1996, yang terdiri dari 3 pasal tersebur secara
lengkap yang terdiri dari pasal 1, pasal 2, dan pasal 3.
Hapusnya Hak
Tanggungan
A. Pengertian Hapusnya Hak Tanggungan
Hapusnya Hak
tanggungan diatur dalam Pasal 18 sampai dengan 19 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996. Yang dimaksud dengan hapusnya Hak Tanggungan adalah tidak
berlakunya lagi Hak Tanggungan.
B. Sebab-sebab
Hapusnya Hak Tanggungan
Ada 6 (enam) cara berakhirnya atau
hapusnya Hak Tanggungan, keenam cara tersebut disajikan sebagai berikut[14]:
1.
dilunasinya hutang atau dipenuhinya prestasi secara
suka rela oleh debitur. Disini tidak terjadi cedera janji atau sengketa.
2.
debitur tidak memenuhi tepat pada waktu, yang
berakibat debitur akan ditegur oleh kreditur untuk memenuhi prestasinya.
Teguran ini tidak jarang disambut dengan dipenuhinya prestasi oleh
debitur dengan suka rela. Sehingga dengan demikian utang debitur lunas
dan perjanjian utang piutang berakhir.
3.
Debitur cedera janji. Dengan adanya cedera cedera
janji tersebut, maka kreditur dapat mengadakan parate eksekusi dengan
menjual lelang barang yang dijaminkan tanpa melibatkan pengadilan. Utang
dilunasi dari hasil penjualan barang tersebut. dengan demikian, perjanjian
utang piutang berakhir.
4.
Debitur cedera janji, maka kreditur dapat mengajukan
sertifikat Hak Tanggungan ke pengadilan untuk dieksekusikan berdasarkan pasal
224 HIR yang diikuti pelelanngan umum. Dengan dilunasi utang dari hasil
penjualan lelang, maka perjanjian utang piutang berakhir. Disini tidak terjadi
gugatan.
5.
Debitur cedera janji dan tetap tidak mau memenuhi
prestasi maka debitur digugat oleh kreditur, yanng kemudian diikuti oleh
putusan pengadilan yang memenangkan kreditur (kalau terbukti). Putusan tersebut
dapat dieksekusi secara suka rela seperti yang terjadi pada cara yang kedua
dengan dipenuhinya prestasi oleh debitur tanpa pelelangan umum dan dengan
demikian perjanjian utang piutang berakhir.
6.
Debitur tidak mau melaksanakan putusan penngadilan
yang mengalahkannya dan menghukum melunasi utangnya maka putusan pengadilan
dieksekusi secara paksa dengan pelelangan umum yang hasilnya digunakan untuk
melunasi hutang debitur, dan mengakibatkan perjanjian utang piutang berakhir.
Walaupun hak atas tanah itu hapus,
namun pemberian Hak Tanggungan tetap berkewajiban untuk membayar hutangnya.
Hapusnya Hak Tanggungan yang dilepas oleh pemegang Hak Tanggungan dilakukan
dengan pemberian pernyataan tertulis, mengenai dilepaskannya Hak Tanggungan
tersebut oleh pemegang Hak Tanggungan kepada pemberi Hak Tanggungan. Hapusnya
Hak Tanggungan karena pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan pringkat
oleh Ketua Pengadilan Negeri terjadinya karen permohonan pembeli hak atas tanah
yang dibebani Hak Tanggungan tersebut agar hak atas tanah yang dibelinya itu
dibersihkan dari beban Hak Tanggungan.
Pitlo berpendapat bahwa Hak Tanggungan hapus dalam hal-hal sebagai
berikut:
1. Berakhirnya perikatan
2. Hak Tanggungan dilepaskan kreditur
3. Musnahnya obyek Hak Tanggunngan
4. Kedudukan pemegang dan pemberi Hak Tanggungan jatuh dalam satu tangan
5. Berakhirnya perjanjian pemberian Hak Tanggungan
6. Berakhirnya hak pemberi Hak Tanggungan
7. Syarat batal dalam perjanjian pemberian Hak Tanggungan
8. Pemerintah mencabut hak atas tanah
9. Penetapan peringkat oleh hakim
10. Jika eksekusi telah dilaksanakan
P.A. Stein mengemukakan pula 6 (enam) cara hapusnya Hak Tanggungan:
1. Hapusnya hutang, yang dijamin oleh Hypotheek
2. Afstand hypotheek
3. Lenyapnya benda hypotheek
4. Percampuran kedudukan pemegang dan pemberi hypotheek
5. Pencoretan, karena pembersihan dan kepailitan
6. Pencabutan hak milik.
Selain itu, sebab-sebab yang
menghapus Hak Tanggungan ditentukan dalam Pasal 18 ayat (1) UUHT. Menurut Pasal
18 ayat (1) UUHT tersebut, Hak Tanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut
:
a) Hapusnya utang yang
dijamin dengan Hak Tanggungan;
Karena
Hak Tanggungan merupakan jaminan utang yang pembebanannya adalah untuk
kepentingan kreditur (pemegang Hak Tanggungan) adalah logis bila Hak Tanggungan
dapat (dan hanya dapat) dihapuskan oleh kreditur (pemegang Hak Tannggungan)
sendiri. Sedangkan pemberi Hak Tanggungan tidak mungkin dapat membebaskan Hak
Tanggungan itu.
Sesuai
dengan sifat Hak Tannggungan yang accesoir, adanya Hak Tanggungan
bergantung kepada adanya piutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak
Tanggungan itu. Oleh karena itu, apabila piutang itu hapus karena pelunasan
atau karena sebab-sebab lainnya, dengan sendirinya Hak Tanggungan yang
bersangkutan menjadi hapus juga.
b) Dilepaskannya Hak
Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan;
Mengenai hapusnya Hak Tanggungan karena dilepaskannya oleh pemegang Hak
Tanggungan, ketentuan Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Hak Tanggungan menentukan
sebagai berikut:
hapusnya Hak
Tanggungan karena dilepaskannya oleh pemegangnya dilakukan dengan pemberian
pernyataan tertulis mengenai dilepaskannya Hak Tanggungan tersebut oleh
pemegang Hak Tanggungan kepada pemberi Hak Tanggungan.
Hal ini pokoknya sejalan
dengan ketentuan Pasal 1381 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan
bahwa:
Perikatan-perikatan
hapus:
1. Karena pembayaran;
2. Karena penawaran pembayaran tunai, diikkuti dengan penyimpanan atau
penitipan;
3. Karena pembaruan utang;
4. Karena perjumpaan utang atau kompensasi;
5. Karena percampuran utang;
6. Karena pembebasan utang;
7. Karena musnahnya barang yang terutang;
8. Karena kebatalan atau pembatalan;
9. Karena berlakunya suatu syarat batal;
10. Karena lewatnya waktu.
Tanpa adanya pernyataan bebas dari kreditot terhadap debitor, maka utang
debitor masih tetap harus dipenuhi oleh debitor kepada kreditor. Demikian pula
halnya suatu Hak Tanggungan, tanpa adanya pernyataan pelepasan Hak Tanggungan
oleh pemegang Hak Tanggungan, maka Hak Tanggungan tidak pernah hapus.
Tampak jelas, bahwa suatu Hak Tanggungan yang telah diberikan sebelum
dilepaskan oleh pemegang Hak Tanggungan tidak akan hapus dan akan terus berlaku
untuk menjamin pelunasan utang yang masih akan ada di kemudian hari selama dan
sepanjang perikatan pokok antara debitor dan kreditor pemegang Hak
Tanggungan yang (akan) lahir dari perjanjian antara mereka tidak atau belum
dihapuskan.
Dalam
konteks ini pun, untuk kepentingan praktis, maka pernyataan tertulis kreditor
pemegang Hak Tanggungan mengenai maksudnya untuk melepaskan Hak Tanggungan
harus disampaikan agar pencoretan Hak Tanggungan dapat dilakukan.
c) Pembersihan Hak
Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri;
Mengenai hapusnya Hak Tanggungan sebagai akibat pembersihan Hak Tanggungan
berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri, dilaksanakan
menurut ketentuan Pasal 18 ayat (3) Undang-undang Hak Tanggungan yang berbunyi:
Hapusnya Hak
Tanggungan karena pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat
oleh Ketua Pengadilan Negeri terjadi karena permohonan pembeli hak atas tanah
yang dibebani Hak Tanggungan tersebut agar hak atas tanah yang dibelinya itu
dibersihkan dari beban Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam Pasal 19.
Dari konteks rumusan yang diberikan dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang
Hak Tanggungan tersebut dapat diketahui bahwa hapusnya Hak Tanggungan
berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri terjadi karena
terdapat lebih dari satu Hak Tanggungan yang diletakkan atas bidang tanah
tersebut. Selanjutnya, dari rumusan Pasal 19 Undang-Undang Hak Tanggungan
yang menyatakan bahwa:
1)
Pembeli objek
Hak Tanggungan, baik dalam suatu pelelangan umum atas perintah Ketua Pengadilan
Negeri maupun dalam jual beli sukarela, dapat meminta kepada pemegang Hak
Tanggungan agar benda yang dibelinya dibersihkan dari segala beban Hak
Tanggungan yang melebihi harga pembelian.
2)
Pembersihan
obyek Hak Tanggungan agar benda yang dibelinya itu dibersihkan dari segala
beban Hak Tanggungan yang melebihi harga pembelian.
3)
Apabila
obyek Hak Tanggungan dibebani lebih dari satu Hak Tanggungan dan tidak terdapat
kesepakatan diantara para pemegang Hak Tanggungan tersebut mengenai pembersihan
obyek Hak Tanggungan dari beban yang melebihi harga pembeliannya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) pembeli benda tersebut dapat mengajukan permohonan
kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi letak obyek Hak
Tanggungan yang bersangkutan untuk menetapkan pembersihan itu dan sekalligus
menetapkan ketentuan mengenai pembagian hasil penjualan lelang diantara para
yang berpiutang dan peringkat mereka menurut perundang-undangan yang berlaku.
4)
Permohonan pembersihan obyek Hak Tanggungan dari Hak
Tanggungan yang membebaninya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat
dilakukan oleh pembeli benda tersebut, apabila pembelian demikian itu dilakukan
dengan jual beli sukarela dan dalam Akte Pemberian Hak Tanggungan yang
bersangkutan para pihak denga telah tegas memperjanjikan bahwa obyek Hak
Tanggungan tidak akan dibersihkan dari beban Hak Tanggungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf f.
Dapat
diketahui bahwa permintaan penghapusan tersebut dapat dimintakan oleh setiap
pembeli hak atas tanah, yang diatasnya terletak beban berupa Hak Tanggungan
yang jumlahnya lebih dari satu, dengan ketentuan bahwa:
1. Jika pembelinya
dilakukan melalui pelelangan, maka pembersihan harus dikabulkan oleh
Ketua Pengadilan Negeri;
2. Jika pembelinya
dilakukan melalui penjualan sukarela, maka pembersihan dikabulkan jika dalam
perjanjian pemberian Hak Tanggungan yang selanjutnya tidak tercantum janji
untuk tidak akan dibersihkan dari beban Hak Tanggungan, hingga seluruh kewajiban
debitor dipenuhi. Dengan demikian berarti dalam hal perjanjian
pemberian atau pembebanan Hak Tanggungan dimuat janji bahwa objek Hak
Tanggungan tidak akan dibersihkan dari beban Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (2) huruf f Undang-Undang Hak Tanggungan, maka pembeli
objek Hak Tanggungan melalui penjualan sukarela tidak dapat meminta agar hak
atas tanahnya dibersihkan.
Pasal 11
(2) Dalam
Akta Pemberian Hak Tanggungan dapat dicantumkan janji- janji, antara lain:
f.
janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan pertama bahwa objek Hak
Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak Tanggungan;
dari ketentuan tersebut diatas , dapat diketahui bahwa hanya pembeli kebendaan yang dijaminkan dengan Hak
Tanggungan melalui pelelangan (umum) yanng dapat secara mutlak meminta
pembersihan Hak Tanggungan dan sekaligus meminta kepada Ketua Pengadilan Negeri
untuk membagi hasil penjualan kebendaan tersebut manakala terjadi sengketa
mengenai pembersihan objek Hak Tanggungan tersebut.
Secara teoretis masalah perolehan pembuktian dapat muncul dari pemegang Hak
Tanggungan peringkat ke-2 dan seterusnya, manakala hasil penjualan tidak
mencukupi untuk melunasi piutang mereka. Untuk itu maka, khusus bagi pembeli
melaluui pelelanngan umum, mereka ini diberikan suatu kepastian bahwa kebendaan
yang dibeli adalah bebas dari segala beban, maka itu mereka berhak untuk
menuntut pembebasan tersebut, meskipun hal tersebut mungkin dapat merugikan
pemegang Hak Tanggungan peringkat ke-2 dan seterusnya.
a. Tujuan diadakannya lembaga pembersihan
Lembaga pembersihan ini diadakan untuk melindungi kepentingan pembeli obyek
Hak Tanggungan agar benda yang dibelinya bebas dari Hak Tanggungan yang semula
membebaninya, jika harga pembelian itu tidak mencukupi untuk melunasi utang
yang dijamin (lihat Penjelasan Pasal 19 ayat (1) UUHT).
Jika obyek Hak Tanggungan akan dijual, pembeli obyek Hak Tanggungan tentu
tidak tertarik untuk memebeli obyek Hak Tanggungan ittu, karena pemegang Hak
Tanggungan berdasarkan hak kebendaannya senantiasa berhak mengejar pembeli agar
membayar kekurangan yang dideritanya akibat dari harga jual yang lebih rendah
dari piutangnya.
Di dalam konteks ini ada konflik antara dua asas, yaitu hak kebendaan dari
Hak Tanggungan dan penjualan obyek Hak Tanggungan. Dari konflik inilah lahir
konsep “pembersihan” (zuivering) sebagai upaya hukum untuk membebaskan obyek
Hak Tanggungan dari tagihan yang melekat diatas obyek itu, karena harga jualnya
lebih rendah dari jumlah kredit yang dijamin Hak Tanggungan itu.
b. Tata cara pembersihan
UUHT menentukan tata cara pembersihan itu sebagai berikut:
a. Obyak Hak
Tanggungan dibebani satu Hak Tanggungan
b. Obyek Hak
Tanggungan dibebani lebih dari satu Hak Tanggungan, maka ditempuh
tatacara sebagai berikut:
Dalam hal tidak terdapat kesepakatan diantara pemegang Hak Tanggungan, maka
pembeli menngajukan ke Ketua Pengadilan Negeri di dalam wilayah mana obyek Hak
Tanggungan itu terletak, mengenai:
- Pembersihan;
- Pembagian hasil penjualan lelang diantara pemegang
Hak Tanggungan;
- Peringkat pemegang Hak Tanggungan.
d) Hapusnya hak atas tanah
yang dibebani Hak Tanggungan.
Alasan terakhir hapusnya Hak
Tanggungan yang disebabkan karena hapusnya hak atas tanah yang dibebani
Hak Tanggungan tidak lain dan tidak bukan adalah sebagai akibat tidak
terpenuhinya syarat objektif sahnya perjanjian, khususnya yang berhubungan
dengan kewajiban adanya objek tertentu, yang salah satunya meliputi keberadaan
dari bidang tanah tertentu yang dijaminkan.
Selain itu, mengenai hapusnnya Hak
Tanggungan karena hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan adalah
logis, karena keberadaan suatu Hak Tanggungan hanya mungkin bila telah atau
masih ada objek yang dibebani dengan Hak Tanggungan itu. Objek dari Hak Tanggungan
adalah hak-hak atas tanah yang berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, dan Hak Pakai atas tanah negara. Karena itu Hak Tanggungan akan hapus
apabila hak-hak atas tanah itu hapus atau berakhir.
Perlu diperhatikan bahwa
khusus untuk Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai untuk rumah tinggal yang sedang
dibebani Hak Tanggungan dan pemiliknya bermaksud untuk meningkatkan
statusnya menjadi Hak Milik berdasarkan ketentuan Peraturan Mentri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 tahun 1998 tentang Perubahan Hak
Guna Bangunan atau Hak Pakai atas tanah untuk rumah tinggal yang dibebani Hak
Tanggungan menjadi Hak Milik, berlaku ketentuan sebagaimana dibawah ini.
1) Perubahan hak
tersebut dimohonkan oleh pemegang hak atas tanah dengan persetujuan dari
pemegang Hak Tanggungan.
2) Perubahan hak
tersebut mengakibatkan Hak Tanggungan dihapus.
3) Kepala Kantor
Pertanahan karena jabatannya, mendaftar hapusnya Hak Tanggungan yang
membebani Hak Guna Bangunan atas Hak Pakai yang diubah menjadi Hak Milik
bersamaan dengan pendaftaran Hak Milik yang bersangkutan.
4) Untuk melindungi
kepentingan kreditur/ bank yang semula dijammin dengan Hak Tanggungan atas Hak
Guna Bangunan atau Hak Pakai yang menjadi hapus. sebelum perubahan hak
didaftar, pemegang hak atas tanah dapat memberikan SKMHT dengan objek Hak
Millik yang diperolehnya sebagai perubahan dari Hak Guna Bangunan atau Hak
Pakai tersebut.
5) Setelah perubahan hak
dilakukan, pemegang hak atas tanahdapat membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan
(APHT) atas Hak Milik yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan yang berlaku
dengan hadir sendiri atau melalui SKMHT.
Berdasarkan ketentuan PMNA/KBPN
tersebut saat hapusnya Hak Tannggungan adalah pada saat pendaftaran Hak Milik.
Oleh karena itu, sebelum perubahan hak didaftar, pemegang hak atas tanah
sebaiknya memberikan SKMHT dengan objek Hak Milik yang diperolehnya, karen
asetelah Hak Milik terdaftar, Hak Tanggungan tersebut menjadi hapus. Pada saat
hapusnya Hak Tanggungan itu kreditur menjadi kreditur konkuren yang hanya
dijamin dengan SKMHT. Namun, kemudian kreditur dapat membuat APHT berdsarkan
SKMHT itu. Hak Tanggungan itu lahir pada tanggal buku tanah Hak Tanggungan ,
yaitu tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat
yang diperlukan bagi pendaftarannya.
Terhadap ketentuan PMNA/KBPN
terdapat beberapa hal yanng perlu diperhatikan, yaitu:
1. Jangka waktu SKMT.
Berdasarkan Pasal 3 ayat (2) PMNA/KBPN tersebut, jangka waktu SKMHT terbatas
yaitu sebagaimana termuat dalam Pasal 15 ayat (4) dan (5) UUHT.
2. Peringkat SKMHT.
Tidak diatur mengenai peringkat apabila ada beberapa SKMHT. Akan tetapi,
mengingat bahwa SKMHT dibuat untuk objek tanah Hak Milik yang bidang tanahnya
adalah sama dengan bidang tanah Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai sebelumnya dan
utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan adalah sama dengan hutang yang dijamin
sebelumnya dan krediturnya adalah tetap, peringkat Hak Tanggungan pada saat
dibuat SKMHT, seyogyanya adalah sesuai dengan peringkat yang termuat dalam
sertifikat Hak Tanggungan yang semula membebani tanah Hak Guna Bangunan
atau Hak Pakai. Kreditur pemegang SKMHT ini haruslah kreditur yang semula
pemeganng Hak Tanggungan, sebab ketentuan PMNA/KBPN ini dibuat untuk memberikan
kepastian hukum bagi pemegang Hak Tanggungan yang tanahnya sedang dimohonkan
perubahan hak atas tanah.
3. Atas perubahan hak,
bagi kreditur perlu memperhatikan bahwa terdapat periode dimana kreditur tidak
lagi menjadi kreditur preferen, yaitu sejak Hak Tanggungan hapus (pada saat Hak
Milik terdaftar) sampai saat Hak Tanggungan terdaftar. Pada periode tersebut,
kreditur hanya berkedudukan sebagai kreditur pemegang SKMHT. Mengingat bahwa
APHT hanya dapat dibuat setelah Hak Milik terdaftar, periode tersebut memakan
waktu sesuai dengan ketentuan lahirnya Hak Tanggungan, yaitu tanggal hari
ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi
pendaftarannya.
4. ketentuan PMNA/KBPN
tersebut hanya berlaku khusus untuk tanah Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai
untuk rumah tinggal yang sedang dibebani Hak Tanggungan.
C. Tata Cara
Penghapusan Hak Tanggungan
Sebagaimana telah dikemukakan diatas
bahwa Hak Tanggungan dapat dengan sengaja dihapuskan, baik dari kehendak dari
pemegang Hak Tanggungan itu sendiri maupun karena pembersihan berdasarkan
penetapan Ketua Pengadilan Negeri. Hapusnya Hak Tanggungan karena dilepaskan
oleh pemegangnya dilakukan dengan pemberian pernyataan tertulis mengenai
dilepaskannya Hak Tanggungan tersebut oleh pemegang Hak Tanggungan kepada
pemberi Hak Tanggungan.
Tidak ada penjelasan lebih lanjut
mengenai proses apa yang harus dilakukan setelah pemberi Hak Tanggungan
menerima pemberian pernyataan tertulis tersebut. Menurut penulis, karena
pemberian Hak Tangggungan wajib didaftarkan pada kantor pertanahan dan lahirnya
Hak Tanggungna adalah pada hari didaftarkannya Hak Tanggungan itu pada buku
tanah hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan tersebut serta
dengan pendaftaran Hak Tanggungan itu, Hak Tanggungan itu berlaku terhadap
pihak ketiga. Karena itu, setelah pemberi Hak Tanggungan menngajukan surat
permohonan kepada Kantor Pertanahan dengan dilampiri surat pernyataan tertulis
tersebut agar Hak Tanggungan tersebut dicatat pada buku-tanah hak atas tanah
yang menjadi objek Hak Tanggungan bahwa Hak Tanggungna itu telah dilepaskan
oleh pemegangnya. Hanya dengan demikian, Hak Tanggungan itu menjadi hapus dan
tidak mengikat lagi baggi pihak ketiga.
Hapusnya Hak Tanggungan karena
pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua
Penngadilan Negeri terjadi dengan diajukannya permohonan oleh pembeli hak atas
tanah yang dibebani Hak Tanggungan tersebut agar hak atas tanah yang dibelinnya
itu dibersihkan dari beban Hak Tanggungan tersebut.
Roya Hak
Tanggungan
Pengertian Roya secara umum adalah pencoretan Hak Tanggungan yang melekat pada buku tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan[15], karena hapusnya Hak Tanggungan yang membebani atas tanah. Permohonan Roya diajukan kepada instansi yang berwenang yaitu Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Hapusnya
Hak Tanggungan terjadi karena peristiwa-peristiwa sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 ayat (1) UU No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta
benda-benda yang berkaitan dengan Tanah (selanjutnya cukup disebut UUHT), yaitu
sbb :
1. Hapusnya utang yang dijamin
dengan Hak Tanggungan;
2. Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan;
2. Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan;
3. Pembersihan Hak
Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri;
4. Hapusnya hak atas
tanah yang dibebani Hak Tanggungan.
Prosedur
pelaksanaan Roya sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (4) UU HT tentang Hak
Tanggungan adalah sebagai berikut: “Permohonan pencoretan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diajukan oleh pihak yang berkepentingan dengan melampirkan
sertipikat Hak Tanggungan yang telah diberi catatan oleh kreditor bahwa Hak
Tanggungan hapus karena piutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan
itu sudah lunas, atau pernyataan tertulis dari kreditor bahwa Hak Tanggungan
telah hapus karena piutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan itu
telah lunas atau karena kreditor melepaskan Hak Tanggungan yang bersangkutan.”
Berikut
ini dokumen-dokumen yang harus dipersiapkan sebelum mengurus Roya ke Badan
Pertanahan Nasional setempat :
- Asli sertifikat atas tanah (dan bangunan jika ada), misal SHGB atau SHM –> sudah atas nama anda sendiri
- Asli sertifikat hak tanggungan (sehubungan dengan adanya APHT atas sertifikat tanah anda)
- Salinan Akta Jual Beli (AJB) atas kavling (dan bangunan)
- Asli Ijin Mendirikan Bangunan (IMB)
- Asli peta situasi
- Asli blue print denah/konstruksi bangunan
- Surat Keterangan Lunas dari Bank pemberi Kredit KPR
- Surat Pengantar Roya dari Bank pemberi Kredit KPR
Eksekusi Hak Tanggungan
Eksekusi Hak Tanggungan dan Penjualan di Bawah Tangan.[16]
A. Eksekusi Hak
Tanggungan
Apabila
debitor cidera janji, obyek HT oleh kreditor pemegang HT dijual melalui
pelelangan umum menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang undangan
yang berlaku dan kreditor pemegang HT berhak mengambil seluruh atau sebagian
dari hasil pelelangan tersebut untuk pelunasan piutangnya yang dijamin dengan
HT tersebut, dengan hak mendahului daripada kreditor-kreditor yang lain. Inilah
yang disebut eksekusi HT.
Kreditor
berhak mengambil pelunasan piutang yang dijamin dari hasil penjualan obyek HT,
dengan hak mendahului daripada kreditor lain yang mempunyai peringkat yang
lebih rendah atau yang bukan kreditor pemegang HT. dalam hal hasil penjualan
itu lebih besar daripada piutang tersebut yang setinggi-tingginya sebesar nilai
tanggungan, sisanya menjadi hak pemberi HT untuk memenuhi kewajibannya yang
lain.
Hak
Tanggungan bertujuan untuk menjamin utang yang diberikan pemegang Hak
Tanggungan kepada debitor. Apabila debitor cidera janji, tanah (hak atas tanah)
yang dibebani dengan Hak Tanggungan itu berhak dijual oleh pemegang HT tanpa
persetujuan dari pemberi Hak Tanggungan dan pemberi Hak Tanggungan tidak dapat
menyatakan keberatan atas penjualan tersebut.
Agar
pelaksanaan penjualan itu dapat dilakukan secara jujur (fair), UUHT
mengharuskan agar penjualan itu dilakukan melalui pelelangan umum menurut tata
cara yang ditentukan dalam peraturan perUndang-Undangan yang berlaku. Dengan
ditentukannya oleh pasal 20 ayat (1) UUHT.
Pasal 6
UUHT memberikan kewenangan kepeda pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual
Objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri. Dengan demikian pemegang Hak
Tanggungan pertama tidak perlu meminta persetujuan terlebih dahulu dari pemberi
Hak Tanggungan dan tidak perlu pula meminta Penetapan Ketua Pengadilan Negeri
Setempat untuk melakukan eksekusi tersebut.
B. Penjualan di
Bawah Tangan
Pada
prinsipnya setiap eksekusi harus dilakukan melalui pelelangan umum, karena
dengan cara demikian diharapkan dapat diperoleh harga yang paling tinggi untuk
obyek HT yang dijual. Dalam keadaan tertentu apabila melalui pelelangan umum
diperkirakan tidak menghasilkan harga tertinggi, atas kesepakatan pemberi dan
pemegang HT dan dipenuhinya syarat-syarat tertentu, dimungkinkan eksekusi
dilakukan dengan cara penjualan obyek HT oleh kreditor pemegang HT di bawah
tangan, jika dengan cara demikian itu akan dapat diperolah haraga tertinggi
yang menguntungkan semua pihak. Hal ini ditentukan dalam Pasal 20 ayat (2)
UUHT.
Penjualan
obyek HT “di bawah tangan” artinya penjualan yang tidak melalui pelelangan
umum. Namun penjualan tersebut tetap wajib dilakukan menurut ketentuan PP
24/1997 tentang Pendaftaran tanah. Yaitu dilakukan di hadapan PPAT yang membuat
aktanya dan diikuti dengan pendaftarannya di kantor Pertanahan.
Dengan
ketentuan seperti ini berarti Bank tidak mungkin melakukan penjualan di bawah
tangan terhadap objek Hak Tanggungan atau agunan kredit itu apabila debitor
tidak menyetujuinya karena penjualan di bawah tangan seperti ini hanya dapat
dilakukan bila ada kesepakatan antara pemberi dan pemegang Hak Tanggungan.
Dikuatirkan jual beli di bawah tangan dianggap merupakan transaksi yang
melanggar hukum sehingga dapat terancam batal demi hukum atau dapat dibatalkan
oleh hakim (atas permintaan pihak-pihak tertentu, termasuk atas permintaan
pemberi Hipotik itu sendiri), karena di dalam ketentuan Hipotik tidak secara
tegas menentukan boleh atau tidak dilakukan penjualan dibawah tangan atas objek
Hipotik. Hal inlah yang menimbulkan banyak keraguan didalam masyarakat.
Berdasarkan
surat kuasa untuk menjual dibawah tangan dari pemberi Hak Tanggungan sebenarnya
jual-beli itu sah saja akan tetapi apabila ternyata penjualan itu terjadi
dengan harga yang jauh di bawah harga wajar, pemberi hak tanggungan dan debitor
itu sendiri (dalam hal debitor bukan pemilik objek Hak Tanggungan) dapat
mengajukan gugatan terhadap bank. Gugatan itu sendiri bukan diajukan terhadap
pelaksanaan penjualannya, tetapi berdasarkan dalih bahwa penjualan objek Hak
Tanggungan harus dilakukan melalui pelelangan umum. Harga penjualan itu yang
dinilai tidak wajar, dan dalih dapat diajukan oleh penggugat adalah bahwa bank
telah melakukan perbuatan melawan hukum atau bertentangan dengan kepatutan atau
bertentangan dengan keadilan atau bertentangan dengan asas I’tikad baik.
Sesuai
dengan asas kepatutan dan I’tikad baik, bank tidak menentukan sendiri harga
jual atas barang-barang agunan dalam rangka penyelesaian kredit macet nasabah
debitur. Penaksiran harga dilakukan oleh suatu perusahaan penilai yang
independen dan telah mempunyai reputasi baik. Dalam hal penjualan dilakukan
dibawah tangan, dan harga tidak ditetapkan sendiri oleh bank, tetapi
berdasarkan kesepakatan antara pemegang dan pemberi Hak Tanggungan atau
berdasarkan penilaian harga oleh suatu perusahaan penilai yang independent.
Menurut
Pasal 20 ayat (3) UUHT, pelaksanaan penjualan di bawah tangan hanya dapat
dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara
tertulis oleh pemberi dan pemegang Hak Tanggungan kepada pihak-pihak yang
berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang
beredar di daerah yang bersangkutan atau media massa setempat, serta tidak ada
pihak yang menyatakan keberatan.Maksud dari ketentuan pasal tersebut adalah
untuk melindungi pihak-pihak yang berkepentingan, misalnya pemegang Hak
Tanggungan kedua, ketiga, dan kreditor lain dari pemberi Hak Tanggungan.
Pengumuman melalui media massa selain surat kabar, dapat dilakukan misalnya
melalui radio atau televisi.
Apabila
pemberi Hak Tanggungan atau debitor (dalam hal debitor bukan pemilik objek Hak
Tanggungan) ingin menghindari penjualan umum (pelelangan) atas objek Hak
Tanggungan, hal itu hanya dapat dilakukan apabila pemberi Hak Tanggungan atau
debitor melakukan pelunasan hutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan beserta
biaya-biaya eksekusi yang telah dikeluarkan. Pelunasan itu masih tetap dapat
dilakukan sampai saat pengumuman untuk lelang dikeluarkan.
C. Sanksi-sanksi administratif
Untuk
menjamin kepastian hukum serta memberikan perlindungan kapada pihak-pihak yang
berkepentingan, ditetapkan sanksi administratif yang dapat dikenakan kepada
para pelaksana yang bersangkutan, atas pelanggaran atau kelalaian dalam
memenuhi berbagai ketentuan pelaksanaan tugasnya masing-masing. Selain itu
apabila mamanuhi syarat yang diperlukan, yang bersangkutan masih dapat digugat
secara perdata dan/atau dituntut pidana.
Sanksi
administratif itu dapat berupa tegoran lisan, tegoran tertulis, pemberhentian
sementara dari jabatan atau pemberhentian tetap dari jabatan, disesuaikan
dengan berat ringannya pelanggaran atau kelalaian. Sanksi ini tertuju kepada
PPAT dan notaris.
[1] Sumber: http://pustakabakul.blogspot.com/2013/07/pengertian-hak-tanggungan.html Diunduh: 24
November 2014. Penulis: Hadi Muttaqin.
[2] Sumber: http://pustakabakul.blogspot.com/2013/07/pengertian-hak-tanggungan.html Diunduh: 24
November 2014. Penulis: Hadi Muttaqin.
[3] Kamus Besar
Bahasa Indonesia, hal.18
[4] Sumber: http://debbyuntar.blogspot.com/2011/01/hak-tanggungan.html Diunduh:
8 Desember 2014 Penulis: Debby
[5] Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Burgerlijk
Wetboek, Psl.1338-1341.
[6] Undang-Undang No.
4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.
[7] Peraturan
Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak
Pakai atas Tanah.
[8] Peraturan
Pemerintah No. 13 Tahun 2010 Tentang Jenis Dan Tarif atas Jenis Penerimaan
Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Badan Pertanahan Nasional.
[9] Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 1996 Tentang
Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan untuk
Menjamin Pelunasan Kredit-Kredit Tertentu.
[10] Peraturan Kepala
Badan Pertanahan Nasional RI No. 1 Tahun 2011 Tentang Pelimpahan Kewenangan
Pemberian Hak Atas Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah Tertentu.
[11] Sumber: http://sobatbaru.blogspot.com/2011/09/ciri-ciri-dan-sifat-hak-tanggungan.html. Diunduh: 26 November 2014.
Penulis: Arianto Samier Irhash.
[12]
Sumber: http://uthsamosir-law.blogspot.com/2012/06/prosedur-atau-tata-cara-pendaftaran-hak.html. Diunduh:
27 November 2014. Penulis: Saut O. Samosir
[13]
Sumber: http://rudini76ban.wordpress.com/2009/07/07/hak-tanggungan-pemberian-dan-pendaftaran/. Diunduh: 27 November 2014. Penulis: Rudini Silaban
[14]
Sumber: http://zfadly.blogspot.com/2012/04/hapusnya-hak-tanggungan.html. Diunduh: 27 November 2014. Penulis: Zul Fadli
[15]
Sumber: http://notarismenulis.blogspot.com/2012/06/roya-hak-tanggungan.html. Diunduh:
27 November 2014. Penulis: Ibu Notaris
[16]
Sumber: http://pusatbantuanhukum.blogspot.com/2009/04/eksekusi-hak-tanggungan-apabila-debitor.html. Diunduh: 26 November 2014. Penulis: Bloggers (Pusat Bantuan Hukum)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar